PENENTUAN JUMLAH MIKROORGANISME DENGAN
METODE ANGKA LEMPENG TOTAL (ALT ) PADA PRODUK PETIS UDANG DI KECAMATAN
SUKUN MALANG
Oleh
Jene
Vida Christianti*
Kushartini, Retno Budi**
*Dosen AAKMAL Malang
**Staf Lab. Klinika Surabaya
INTISARI
Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui jumlah
total mikroorganisme dengan Metode Angka Lempeng Total (ALT ) pada produk petis
udang di beberapa Pasar di Kecamatam Sukun Malang dan Membuktikan
adanya mikroorganisme
pada petis udang menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2718-1992)
Desain penelitian ini menggunakan Metode Angka Lempeng
Total untuk mengetahui adanya mikroorganisme pada kandungan petis udang. Dengan
mengambil sampel di beberapa Pasar di Kecamatan Sukun Malang. Sampel yang
diambil 15 sampel di 3 Pasar antara lain : Pasar Mergan, Pasar Kasin, dan Pasar
Sukun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Petis udang yang
tidak memenuhi syarat mengandung koloni sebanyak 13,3 %. Ada 15 sampel yang
diperiksa dan terdapat 2 sampel yang tidak memenuhi syarat, antara lain di
Pasar Sukun. Dan yang memenuhi syarat yaitu pada Pasar Mergan pada 5
sampel (33,3 %), Pasar Kasin pada 5
sampel (33,3%), Pasar Sukun 3 sampel (20
%). Untuk masing- masing Pasar di Kecamatan Sukun antara lain : Pasar Mergan
dan Pasar Kasin memenuhi syarat (100 %), sedangkan untuk Pasar Sukun yang
memenuhi syarat (60 %) dan yang tidak memenuhi syarat (40 %).
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tolak ukur
masyarakat akan kebersihan dalam mengolah
atau memasak sesuatu dalam artian petis udang atau yang lainnya. Dan
digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan kualitas pedagang petis udang dalam
pengolahan dan pengemasan.
Kata kunci : Petis Udang, Angka lempeng total, Cawan Agar
Tuang.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah
Cita
rasa petis lebih ditentukan oleh jenis bumbu yang digunakan. Apabila bumbu yang
digunakan sama, walaupun bahan bakunya berbeda, pada akhirnya akan menghasilkan
petis dengan cita rasa yang hampir sama satu sama lain. Petis udang dan petis
ikan banyak diproduksi di daerah pantai Jawa Timur, seperti Sidoarjo, Gresik,
Lamongan, Tuban, dan Madura(Y. Denny Ardyanto.W
2002)
Perjalanan petis dari produsen hingga konsumen pada umumnya
melalui para agen dan pedagang. Para produsen petis
mengemas petis mereka ke dalam ember-ember
plastik berukuran besar. Di tangan para agen, petis
dikemas ulang ke dalam wadah yang lebih kecil dan diberi marek, baru dijual
pada pedagang hingga akhirnya sampai ke konsumen. (Y. Denny Ardyanto.W
2002)
Ada pula pedagang yang
mengambil petis langsung dari produsen, dan
menjualnya sesuai dengan permintaan pembeli. Sehingga cara penyajian dalam
penjualan petis ini, dua macam cara yaitu
dengan kemasan dan tanpa kemasan (kilo-an berdasarkan permintaan pembeli).
Berdasarkan pemeriksaan Angka Lempeng Total (ALT), sehingga
masih terdapat petis yang tidak memenuhi
standart Balai POM Depkes, yang mensyaratkan Standart SNI
(Standart Nasional Indonesia) tentang petis udang yaitu maksimal 105. (Y. Denny
Ardyanto.W 2002)
Agar saat dilakukan pemeriksaan
Angka Lempeng Total kecil kemungkinan terdapat koloni pada setiap sample
pemeriksaan. Maka perlu dilakukan sterilisasi pada saat proses pengambilan
sample di pasar maupun saat pengerjaan pemeriksaan.
Terkait
dengan alasan pemilihan judul di atas, maka perlu dilakukuan penelitian
mengenai permasalahan yang menyangkut “Petis Udang“ yaitu: mengetahui jumlah
Mikro organisme di beberapa Pasar di Kecamatan Sukun dengan menggunakan metode
Angka Lempeng Total (ALT).
Tinjauan Pustaka
Pengertian
Petis Udang
Petis
udang adalah hasil olahan dari campuran udang segar yang mengalami perlakuan,
pencucian, penggilingan atau pencincangan dan pemasakan bersama dengan bahan
tambahan. (Martosubroto .P dan
N Naaminm,1985)
Petis udang biasa dibuat dari bahan
dasar kaldu udang yang ditambah bahan pengental berupa tepung tapioka dan tepung beras serta bumbu-bumbu berupa bawang
merah, bawang putih, daun salam, lengkuas, sereh, jahe, daun jeruk purut,garam
gula merah, gula pasir dan vetsin
( Martosubroto .P dan N
Naaminm,1985)
Petis dapat juga dikategorikan
sebagai makanan semi basah yang memiliki kadar air sekitar 10-40 persen, nilai
aw(aktivitas air) 0,65-0,90, dan mempunyai tekstur plastis. Beberapa keuntungan
pangan semi basah, antara lain tidak memer lukan fasilitas penyimpanan yang
rumit, lebih awet, sudah dalam bentuk siap dikonsumsi, mudah penanganannya, dan
bernilai gizi cukup baik. Bahan makanan ini pada umumnya digunakan masyarakat
sebagai bumbu masakan daerah seperti rujak cingur, petis kangkung, tahu petis,
dan sebagainya, yang sangat digemari oleh masyarakat (Martosubroto
.P dan N Naaminm,1985)
Petis memberikan rasa yang
dominan pada makanan tradisional dari beberapa tempat di Pulau Jawa. Penyedap
yang bahan utamanya udang, ikan, dan bisa juga daging ini bukan hanya menambah
rasa enak, tetapi juga mengandung protein, karbohidrat, dan beberapa unsur
mineral, yaitu fosfor, kalsium, dan zat besi (Tommy Irawan, 2004)
Petis berbentuk pasta,
merupakan olahan dari ikan atau udang ditambah bumbu, tepung beras, atau kanji.
Seperti halnya kecap dan saus, petis juga merupakan produk yang menyerupai
bubur kental, liat, dan elastis, berwarna hitam atau cokelat tergantung dari
jenis bahan baku yang digunakan. Sesuai dengan teksturnya yang setengah padat,
petis umumnya diperdagangkan dalam kemasan stoples, gelas jar, atau botol
plastik berukuran kecil
(Martosubroto .P dan N Naaminm,1985)
Petis dapat juga dikategorikan
sebagai makanan semi basah yang memiliki kadar air sekitar 10-40 persen, nilai
aw (aktivitas air) 0,65-0,90, dan mempunyai tekstur plastis. Beberapa
keuntungan pangan semibasah, antara lain tidak memerlukan fasilitas penyimpanan
yang rumit, lebih awet, sudah dalam bentuk siap dikonsumsi, mudah
penanganannya, dan bernilai gizi cukup baik.
Di pasaran beredar berbagai
merek petis udang dengan harga dan tentunya mutu yang berbeda, pada umumnya
dibedakan dari bahan pembuataanya yaitu dari udang segar atau kepalanya saja
dan dari komposisi campurannya(Martosubroto
.P dan N Naaminm,1985)
Namun secara umum dalam SNI
01-2718-1995 telah ditetapkan standar mutu petis udang-udang berikut :
Tabel
1. Standar Mutu Petis Udang
(SNI 1996)
1. Udang
Umumnya
udang yang digunakan sebagai bahan baku petis adalah udang rebon (sergestidae)
dan bagian kepala udang yang merupakan limbah dari industri pembekuan udang.
Limbah ini terdapat dalam jumlah yang banyak, sekitar 40% dari bahan baku udang
utuh (Martosubroto .P dan
N Naaminm,1985)
Meskipun
berupa limbah namun kepala udang masing mengandung kandungan nutrisi yang cukup
tinggi. Kandungan nutrisi tepung kepala udang dapat dilihat pada tabel dibawah
ini :
Tabel 2. Kandungan Nutrisi
Tepung Kepala Udang
Sumber : Mudjiman, 1985
2. Air
Air
merupakan salah satu bahan yang paling penting dalam industri pangan, karena
air digunakan dalam berbagai kegiatan, baik untuk sanitasi boder, dan medium
penghantar panas maupun proses pengolahannya sendiri. Sebagian
besar dari penggunaan tersebut memerlukan persyaratan dan standar mutu
tersendiri. Pada umumnya, air yang memenuhi
persyaratan air minum cukup baik untuk memenuhi persyaratan mutu industri.
Beberapa jenis industri tertentu memang memerlukan persyaratan yang lebih berat
dan mendetail daripada standar air minum, karena penggunaan air untuk industri
pangan memerlukan persyaratan mutu tertentu, maka diperlukan suatu standar
analisa yang wajib atau dianjurkan dengan standar analisa yang memadai serta
mekanisme pengendalian mutu uang baik (Winaro, 1986)
3.Gula
Gula
adalah suatu istilah umum yang sering diartikan setiap karbohidrat yang
digunakan sebagai pemanis. Tetapi dalam industri pangan biasa digunakan untuk
menyatakan sukrosa, yang diperoleh dari bit/tebu. Sukrosa sampai sekarang
merupakan bahan pemanis yang paling banyak dipakai, karena flavornya yang
memberi kenikmatan manis pada manusia sehingga sesuai sebagai pemanis baku (Buckle,
K. A., R.A . Edwars
, G.H. Fleet and M. Wotton. 1987)
Apabila
gula ditambahkan ke dalam pangan dalam konsentrasi yang tinggi (paling sedikit
40% padatan terlarut) sebagian dari air yang ada menjadi tidak tersedia untuk
pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air (aw) dari bahan pangan
berkurang. Walaupun demikian, pengaruh konsentrasi gula terhadap aw
bukan merupakan faktor satu-satunya yang mengendalikan pertumbuhan berbagai
mikroorganisme karena bahan-bahan dasar yang mengandung komponen yang
berbeda-beda namun aw yang sama dapat menunjukkan ketahanan yang
berbeda terhadap kerusakan karena mikroorganisme (Buckle, K.
A., R.A . Edwars ,
G.H. Fleet and M. Wotton. 1987)
4.Garam
Garam
memberi sejumlah pengaruh bila ditambahkan pada jaringan tumbuh-tumbuhan yang
segar. Pertama-pertama, garam akan berperan sebagai penghambat
selektif pada mikroorganisme pencermar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau
proteolitik dan juga pembentuk spora, adalah yang paling mudah terpengaruh
walau dengan kadar garam yang rendah sekalipun (sampai 6%). Mikroorganisme
patogenik, termasuk clostridium boculium dengan pengecualian pada salmoneila
gureus, dapat dihambat
oleh konsentrasi garam sampai 10-12%. Walaupun begitu, beberapa mikroorganisme
terutama jenis-jenis leuconostoe dan lactobacillus, dapat tumbuh cepat dengan
adanya garam dan terbentuknya asam untuk menghambat organisme yang tidak
dikehendaki (Buckle,
K. A., R.A . Edwars
, G.H. Fleet and M. Wotton. 1987)
Garam juga mempengaruhi
aktivitas air (aw) dari bahan, jadi mengendalikan pertumbuhan
mikroorganisme dengan suatu metode yang bebas dari pengaruh racunnya. Beberapa mikroorganisme
seperti halofilik dapat tumbuh dalam larutan garam yang hampir jenuh, tetapi
mikroorganisme ini membutuhkan waktu penyimpanan yang lama untuk tumbuh dan
selanjutnya terjadi pembusukan (Buckle, K.
A., R.A . Edwars ,
G.H. Fleet and M. Wotton. 1987)
5.MSG
Mono
Sodium Glutamat (Mono Natrium Glutamat)
atau vetsin
adalah garam paratrium dari glutamat dan merupakan senyawa cita rasa. Di
pasaran senyawa tersebut terdapat dalam bentuk kristal monohidrat dan dikenal
sebagai Ajinomoto, Sasa, Miwon, Maggie, semua nama tersebut adalah nama merk
dagang untuk MSG. Struktur molekul MSG terlihat sebagai berikut (Tommy
Irawan, 2004):
HO H H H
| | | |
C ----- C ------ C ------ C -----
COONa
| | | | |
O H
H NH2
Dari
struktur tersebut terlihat terdapat satu karbon asimetrik, yaitu karbon ke
empat dari kiri. Karbon tersebut terikat oleh empat gugus yang saling berbeda.
Karena itu baik asam glutamat
maupun garamnnya terdapat dalam tiga bentuk, yaitu isomer L dan D dan dalam
bentuk resemik DL. Bentuk L adalah yang banyak terdapat di alam, dan juga
merupakan bentuk isomer yang aktif demikian juga banyak terdapat di alam, dan
juga merupakan bentuk isomer yang aktif, demikian juga bentuk garam yang
memiliki kekuatan membangkitkan atau mempertegas cita rasa beberapa komoditi (Winarno,
1994)
MSG
murni tidak memiliki bau, tetapi memiliki rasa yang nyata yaitu campuran rasa
manis dan asin yang terasa enak dimulut. Ada beberapa pendapat mengenai
mekanisme kerja MSG sehingga dapat menambah cita rasa. Rasa daging mungkin
disebabkan oleh hidrolisis protein dalam mulut. MSG (Winarno,
1994)
Meningkatkan cita rasa yang
diinginkan sambil mengurangi rasa yang tidak diinginkan seperti rasa bawang
yang tajam, rasa sayuran mentah yang tidak menyenangkan ataupun rasa pahit pada
sayuran yang dikalengkan. Pendapat lain mengatakan bahwa MSG meningkatkan rasa
asin, atau memperbaiki keseimbangan cita rasa makanan olahan. Diutarakan pula
MSG menyebabkan sel reseptor rasa lebih peka sehingga dapat menikmati rasa
dengan lebih baik (Tommy Irawan, 2004)
Asam glutamate diperoleh dari
bahan yang mengandung banyak protein dan dapat dibuat secara hidrolisis asam
dari bahan-bahan seperti gandum, jagung, atau molase. Asam glutamate terbentuk
dengan cara melarutkan bahan-bahan ke dalam asam klorida hingga pH 3,2 dan akan
terbentuk kristal secara lambat. Kemudian dilakukan netralisasi dengan NaOH atau Na2CO2,
dekolorisasi dan dikritalisasikan (Tommy Irawan, 2004)
6.Tepung
Tepung
pada proses pembuatan petis udang terutama sekali digunakan untuk mengurangi
biaya produksi, untuk memberikan efek pembentukan pasta yang lebih cepat.
Biasanya yang digunakan adalah tepung gaplek atau tepung terigu. Sedangkan pada
petis mutu bagus umumnya tidak digunakan. (Fattah, Muf ti Abdul,. 1986)
Tepung terigu merupakan hasil
penepungan dari biji Gandum dengan kandungan pati 65% - 75% yang merupakan
komponen terbesar dari tepung terigu. Sedangkan tepung gaplek dari penggilingan
dan pengayakan irisan ubi kayu yang telah dikeringkan (Bedeges,F. 1989)
Jenis
Petis
Hingga
saat ini dikenal tiga jenis petis, yaitu petis udang (umumnya berwarna cokelat
kehitaman), petis ikan (berwarna hitam), dan petis daging (berwarna cokelat
muda). Berdasarkan pengalaman diketahui bahwa jenis bahan baku tidak terlalu
berpengaruh terhadap cita rasa petis yang dihasilkan (Tommy
Irawan, 2004)
Cita
rasa petis lebih ditentukan oleh jenis bumbu yang digunakan. Apabila bumbu yang
digunakan sama, walaupun bahan bakunya berbeda, pada akhirnya akan menghasilkan
petis dengan cita rasa yang hampir sama satu sama lain. Petis udang dan petis
ikan banyak diproduksi di daerah pantai Jawa Timur, seperti Sidoarjo, Gresik,
Lamongan, Tuban, dan Madura (Tommy Irawan, 2004)
Petis daging banyak diproduksi
di daerah Yogyakarta dan Solo. Petis udang adalah ekstrak udang yang dikentalkan
dengan tambahan beberapa macam bahan untuk memberi rasa, warna, dan konsistensi
yang menarik. Umumnya terbuat dari daging udang atau limbah udang (kepala dan
kulit udang) yang sengaja direbus untuk diambil sarinya (ekstrak yang
mengandung asam amino, vitamin, mineral, dan komponen cita rasa). Limbah udang
umumnya berasal dari industri pembekuan udang atau industri pengolah kerupuk
udang (Tommy Irawan, 2004)
Seperti halnya petis udang,
petis ikan juga dibuat dari daging ikan atau limbahnya. Limbah dapat juga
berasal dari cairan perebus ikan pindang yang umumnya dibuang setelah ikan
pindang matang. Cairan tersebut berasa asin dan mengandung sejumlah zat gizi
dan komponen cita rasa yang terlarut selama perebusan ikan, seperti protein dan
asam amino, vitamin, serta mineral. Petis daging dapat dibuat dari ekstrak
daging, yaitu cairan yang dihasilkan dari hasil perebusan daging (Tommy
Irawan, 2004)
Cita rasa gurih pada petis
berasal dari dua komponen utama, yaitu dari peptida dan asam amino yang
terdapat pada ekstrak serta dari komponen bumbu yang digunakan. Asam amino
glutamat pada ekstrak merupakan asam amino yang paling dominan menentukan rasa
gurih. Sifat asam glutamat yang ada pada esktrak ikan, udang, atau daging sama
dengan asam glutamat yang terdapat pada monosodium glutamat (MSG) yang berbentuk bubuk penyedap rasa (Tommy
Irawan, 2004)
Berdasarkan cara pembuatannya,
petis dapat digolongkan atas empat kategori mutu, yaitu petis kualitas
istimewa, kualitas ekstra, petis nomor satu, dan petis nomor dua. Namun,
produsen sangat jarang menjual petis istimewa karena harganya akan menjadi
sangat mahal sehingga terbatas konsumennya. Dengan demikian, secara komersial
tidak menguntungkan bagi produsen (Tommy Irawan, 2004)
Bahan
Baku
Bahan
baku utama pembuatan petis udang adalah daging atau limbah udang dan gula
merah. Bahan baku tambahannya berupa bawang putih, cabai, merica, gula pasir,
tepung beras/tepung tapioka/kanji/tepung arang kayu, garam dapur, dan air (Tommy
Irawan, 2004)
Peralatan
yang diperlukan dalam pembuatan petis sangat sederhana dan lazim digunakan di
rumah tangga biasa. Alat yang terpenting adalah belanga, yaitu panci lebar yang
terbuat dari tanah liat. Alat ini disukai karena memiliki sifat pengantar panas
yang rendah dan porous (berpori-pori). Dalam pembuatan petis diperlukan
pemanasan rendah dalam waktu cukup lama, sehingga secara perlahan akan
dihasilkan adonan petis yang kental dan elastis (Tommy
Irawan, 2004)
Dengan menggunakan belanga,
pemanasan rendah dapat terjadi secara menyeluruh. Adanya pori-pori pada seluruh
dinding belanga menyebabkan penguapan tidak hanya terjadi pada permukaan
adonan, namun menyeluruh pada semua bagian adonan yang menempel pada dinding
belanga Apabila digunakan wajan atau panci alumunium, akan terdapat banyak
bagian yang hangus dan petis yang dihasilkan menjadi kasar dan berair (lembek).
Hal ini disebabkan alumunium memiliki sifat pengantar panas yang baik, tetapi
tidak poros (Tommy
Irawan, 2004)
Alur Penelitian
Sumber : Handayani, 1994
Karakteristik
Kimia Petis Udang
a.
Kadar
Abu
Tinggi
rendahnya kadar abu ini kemungkinan disebabkan pemilihan komposisi bahan baku
yang digunakan. Misalnya pemilihan jenis udang dan juga variasi bagian udang
yang dioleh menjadi petis. Kadar abu kemungkinan tinggi bila udang yang
digunakan lebih banyak terikut bagian yang keras (kulit) dan cenderung rendah,
jika bagian kulitnya lebih sedikit. Lebih jauh hal ini dapat
dihubungkan dengan efektivitas dan efisiensi penyaringan. Kain penyaring yang
tidak seragam dan caranya yang masih manual memungkinkan terikutnya
bagian-bagian kulit kepala udang pada rebusan yang mengakibatkan bervariasinya
kadar abu pada petis udang. Menyatakan bahwa kadar abu berhubungan dengan mineral
bahan (Winarno, 1994)
Dalam proses
pembakaran, bahan organik terbakar tapi zat anorganik tidak ikut terbakar,
karena itu disebut abu. Semakin tinggi kadar abu berarti juga semakin tinggi
kandungan bahan anorganiknya (Winarno, 1994)
Pada SNI 01-2718-1996 tentang petis udang disebutkan
kadar abu maksimal 8%. Ini berarti hasil analisis kadar abu yang berkisar
antara 4.593-6.463% masih memenuhi standar mutu. Penentuan
abu total dapat digunakan sebagai parameter nilai gizi bahan makanan, karena
dapat dijadikan sebagai parameter terhadap jumlah cemaran dalam produk misalnya
logam (Winarno, 1994)
Untuk cemaran yang
berupa logam biasa tdiak akan terlalu berbahaya, namun untuk cemaran yang
berupa logam berat seperti Timbal (Pb), Timah (Sn), dan Raksa (Mg), dapat
berbahaya jika melebihi ambang batas yang ditentukan (Winarno, 1994)
b.
Kadar
Air
Air
pada larutan makanan merupakan komponen penting karena ikut menentukan
penerimaan, kesegaran dan daya tahan produk pangan tersebut. Semakin tinggi
kadar airnya, bahan makanan menjadi cepat rusak, karena kadar air yang tinggi
merupakan media yang baik untuk tumbuhnya mikroba (Winarno, 1994)
Adanya perbedaan sangat nyata kadar air antara merek
diduga disebabkan karena berbedanya komposisi penambahan air pada proses
pemerasan dan penyaring disamping efisiensi pemerasan dan penyaringan itu
sendiri. Semakin banyak air yan ditambahkan pada saat penyaringan dan semakin
efisiensi proses pemesaran dan penyaringan makan kadar air pada filtrat udang
semakin banyak. Selanjutnya lama perebusan awal serta perebusan lanjutan
juga berpengaruh poada kadar air produk aktif. Semakin lama perebusan awal juga
perebusan lanjutan tentunya akan berakibatr pada berkurangnya kadar air pada
bahan demikian sebaliknya mengingat masing-masing produsen mempunyai kriteria
sendiri mengenai proses ini (Winarno, 1994)
Penggunaan bahan pengemas yang berbeda juga akan
mempengaruhi besarnya kadar air petis. Kemasan yang
kurang tahan terhadap uap air atau penutupan yang kurang sempurna, akan
mengakibatkan uap air yang ada diudara akan masuk ke dalam kemasan, sehingga
kadar air meningkat (Winarno, 1994)
c.
Kadar Protein
Kandungan
protein dipengaruhi oleh jumlah protein dalam bahan utama pembuatan petis yaitu
udang. Semakin tinggi kandungan protein udang yang digunakan semakin besar pula
kadar protein petis udang. Dari hasil analisis, kadar protein petis udang lebih
rendah dari kadar protein tepung kepala udang yaitu 53,4% (Moeljanto, R. 1992)
Hal ini disebabkan pencampuran bahan lain selain bahan
utama dalam proses pembuatannya. Semakin banyak bahan lain yang ditambahkan
maka semakin kecil kadar protein pada petis udang. Selain itu keragaman jenis
udang yang dipilih juga kemungkinan berpengaruh pada kadar protein petis udang,
bila bahan didominasi jenis dan bagian udang yang berprotein tinggi tentunya
akan menaikkan kadar protein bahan dan sebaliknya (Moeljanto, R. 1992)
Bila dibandingkan dengan SNI tentang petis udang yang
menyebutkan bahwa kadar protein maksimal 10%, semua sampel jauh melebihi
standar. Karena banyak ditemukan mikroorganisme dalam Petis Udang di beberapa
Pasar yang harganya murah. Diperkirakan harga murah sangat berpengaruh dengan
resiko produk yang tidak higienis
(Moeljanto, R. 1992)
d.
Kadar
Karbohidrat
Dari
hasil perhitungan Carbohydrete by Difference,6 kadar karbohidrat petis udang
berkisar antara 42,167% - 60,547%. Nilai standar SNI petis udang
yang menyebutkan bahwa kadar karbohidrat maksimal 40%. Jumlah karbohidrat yang
relatif tinggi ini kemungkinan disebabkan karena berbedanya komposisi bahan
masing-masing merek disamping bahan baku utama. Salah satunya adalah perbedaan
komposisi pemberian gula pasir. Semakin banyak gula pasir yang ditambahkan maka
dapat dikatakan total karbohidratnya bertambah. Selain untuk memberikan rasa
manis, gula juga berperan dalam pembentukan warna petis dengan reaksi
karamelisasi. Sedang karbohidrat berperan dalam reaksi browning nonenximatis
Maillard yang melibatkan gugus amina primer dan gula-gula pereduksi (Moeljanto,
R. 1992)
e.
Kadar
Lemak
Kadar lemak petis udang berkisar antara 0,053% - 1,103%. Pada
SNI tentang petis udang, standar kadar lemak tidak disebutkan. Mungkin karena
jumlahnya dianggap kurang signifikan atau mungkin tidak dianggap berpengaruh
signifikan pada mutu petis udang. Perbedaan kadar lemak ini kemungkinan
disebabkan adanya perbedaan pemilihan komposisi dan bahan baku pada petis
udang. Lemak pada bahan makanan kompisisi dan bahan baku makanan bisa berguna
untuk menambah cita rasa, namun bila jumlahnya cukup banyak bisa memicu
terjadinya rancidity/ketengikan (Winarno, 1994)
Perubahan-perubahan
lemak dan minyak dapat mempengaruhi bau dan rasa suatu bahan makanan, baik yang
menguntungkan maupun tidak. Bila kadarnya cukup tinggi, adanya lemak dalam bahan
pangan dapat memberi kesempatan bagi jenjis-jenis hipolitik untuk tumbuh secara
dominan (Buckle, K.A.R.A. Edwards, G.H. Fleet and M.
Wootton. 1986)
Keadaan ini
menghasilkan kerusakan lemak oleh mikroorganisme dan menghasilkan zat-zat yang
disebut asam bebas dan keton yang mempunyai bau dan rasa yang khas, seringkali
disebut tengik (rancia). Selain efek oksidatif, lemak juga dapat rusak karena
efek hidrolisis (Buckle, K.A.R.A. Edwards, G.H. Fleet and M.
Wootton. 1986)
f.
Kadar
pati petis udang
Kadar pati petis udang berkisar antara 0,887% - 2,057%.
Kadar pati pada petis udang tidak disyaratkan dalam SNI tentang petis udang.
Kadar ini dianalisis untuk melihat
apakah pada petis udang ditambahkan bahan tambahan berupa tepung, biasanya
gaplek atau terigu untuk mempercepat pembentukan pasta maupun ulasan ekonomis.
Namun pada semua merek tidak terlihat perbedaan signifikan, hal ini kemungkinan
besar disebabkan kualitatif petis yang menjadi sampel umumnya dan kualitas yang
relatif bagus. Pati, umumnya digunakan dari tepung gaplek atau terigu lazim
digunakan pada produsen petis dengan alasan terutama: ekonomis, mengingat
sasarannya adalah konsumen menengah ke bawah. Tentu saja semakin banyak pati
(gaplek dan terigu) yang ditambahkan maka kualitas dari petis udang akan
mengalami perubahan (Buckle, K.A.R.A. Edwards, G.H. Fleet and M.
Wootton. 1986)
g.
Total
Mikroba
Standar
SNI tentang petis udang yaitu maksimal 105. Faktor lain yang
menyebabkan tingginya total mikroba adalah kurangnya sarana sanitasi peralatan
yang baik, sanitasi pekerja, hal yang umum terjadi pada industri trandisional.
Kemasan yang digunakan pun mempunyai peranan yang cukup besar dalam melindungi
petis udang dari kontaminasi. Aspek yang dapat mempengaruhi daya tahan produk
terhadap kerusakan. Hal menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi secara alamiah,
misalnya perubahan karena mikroorganisme atau karena interaksi berbagai
komponer dalam produk, merupakan suatu perubahan yang tidak dapat dikembalikan seluruhnya oleh
kemasan (Buckle, K.A.R.A. Edwards, G.H. Fleet and M.
Wootton. 1986).
h.
Bakteri
Koliform
Tingginya
jumlah koliform ini bisa disebabkan oleh beberapa sebab, yaitu secara alami
bahan baku memang memiliki kandungan mikroorganisme yang cukup tinggi, hal ini
kemudian diperburuk dengan kurangnya sanitasi baik dalam proses maupun pekerja
dan kondisi penyimpanan pasca proses dan pemilihan bahan pengemas itu sendiri (Buckle,
K.A.R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wootton. 1986)
METODE
PENELITIAN
Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui jumlah
total mikroorganisme dengan Metode Angka Lempeng Total (ALT ) pada produk petis
udang di beberapa Pasar di Kecamatam Sukun Malang dan Membuktikan
adanya mikroorganisme
pada petis udang menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2718-1992). Desain
penelitian ini menggunakan Metode Angka Lempeng Total untuk mengetahui adanya
mikroorganisme pada kandungan petis udang. Dengan mengambil sampel di beberapa
Pasar di Kecamatan Sukun Malang. Sampel yang diambil 15 sampel di 3 Pasar
antara lain : Pasar Mergan, Pasar Kasin, dan Pasar Sukun
Populasi
penelitian ini adalah petis udang yang dujual di beberapa Pasar di Kecamatan Sukun Malang. Dan
diambil di 3 Pasar, antara lain : Pasar Sukun, Pasar Mergan, Pasar Kasin. Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 15 sampel yang diambil secara acak dari beberapa Pasar
Sukun di Kota Malang yaitu Pasar Mergan,
PasarKasin, dan Pasar Sukun dengan pengambilan sampel tiap-tiap pasar yaitu 5
sampel.
Peralatan penelitian yang
diginakan antara lain; 1). Timbangan
dengan ketelitian 0,0001 g; 2). Autoclave; 3). Inkubator 35 °C ± 1°C;
4). Cawan petri 15 mm x 90 mm; 5). Alat penghitung koloni; 6). Blender
. 7). Gelas Ukur 500 ml dan 100 ml; 8). Pipet Ukur 10 ml; 9). Elenmeyer;
10).Tabung Reaksi; 11). Beaker glass.
Media dan pereaksi yang di
perlukan adalah 1).Nutrient Agar;
2).Larutan Nacl 0,85%, 3).Petis Udang.
HASIL
DAN PEMBAHSAN
Hasil Pemeriksaan Sampel
Tabel
1
Hasil Penelitian
Hari pertama : Pasar
Mergan
Hari kedua : Pasar
Kasin
Hari kedua : Pasar Sukun
Kesimpulan
Hasil Perhitungan Terhadap
Batas Syarat Maximum Angka Lempeng Total Pada Petis Udang Sesuai Standart SNI no 01-2718-1996
Batas
Syarat Maximum Angka Lempeng Total Pada
Petis Udang Sesuai Standart SNI no 01-2718-1996 adalah 105.
Untuk mengetahui proporsi persentase dari 2
variabel, yaitu sampel yang memenuhi syarat dan
tidak memenuhi syarat dari tiap pasar dalam satu Kecamatan yang
telah diperiksa, digunakan rumus:
Proporsi = X x K
Y
Sumber : Ali, Zaidin, 2010
Keterangan:
X :
jumlah sampel yang dicari proporsinya.
Y : jumlah sampel keseluruhan.
K : konstanta (100%).
Pasar Mergan
Dari 5 sampel yang diambil keseluruhannya
memenuhi syarat karena hasil dibawah 105.
Proporsi : Memenuhi Syarat =
33,3 %
Pasar Kasin
Dari 5 sampel yang diambil
keseluruhannya memenuhi syarat karena hasil dibawah 105.
Proporsi : Memenuhi Syarat =
33,3 %
Pasar Sukun
Dari
5 sampel yang diambil, ada 2 sampel yang tidak memenuhi syarat yaitu pada
sampel no: 11 dan 15 dan ada 3 sampel yang memenuhi syarat yaitu pada sampel no
: 12, 13 dan 14 .
Proporsi
: Memenuhi Syarat. = 20 %
Proporsi
: Tidak Memenuhi Syarat = 13,3 %
Gambar 1 proporsi Memenuhi Syarat dan Tidak memenuhi
Syarat Pada tiga pasar di
kecamatan sukun
Keterangan gambar :
Berdasarkan gambar 2 diketahui : 13,3 % sampel
yang tidak memenuhi syarat di Kecamatan Sukun, terdiri dari 2 sampel dari
Pasar Sukun.
Proporsi Persentase Hasil Test Penegasan pada masing-
masing Pasar di Kecamatan Sukun
Proporsi Presentasi Hasil
Test Penegasan untuk sampel yang memenuhi syarat dan tidak memenuhi sarat di
masing- masing pasar di Kecamatan Sukun.
1. Pasar Mergan :
Jumlah
sampel di pasar mergan ada 5 sampel dan sampel yang ditemukan
“Memenuhi Syarat“ . = 100 %
Jadi, Proporsi persentase
sampel untuk pasar mergan yang tidak memenuhi syarat : 100 %
2. Pasar Kasin :
Jumlah sampel di Pasar Kasin
ada 5 sampel dan sampel yang ditemukan
“ Memenuhi Syarat “ = 100 %
Jadi, Proporsi persentase
sampel untuk Pasar Kasin yang tidak memenuhi syarat : 100 %
3. Pasar Sukun :
Jumlah sampel di Pasar Sukun
ada 5 sampel, dan yang memenuhi syarat ada 3 sampel = 60 %
Jadi, Proporsi persentase
sampel yang memenuhi syarat 60 %
Sedangkan 2 dari 5 sampel
pada Pasar Sukun “ Tidak Memenuhi Syarat ”
= 40 %
Jadi, Proporsi persentase
sampel yang tidak memenuhi syarat di Pasar Sukun 40 %.
Gambar 2
Porprosi Memenuhi Syarat dan
Tidak Memenuhi Syarat
Masing-masing di 3 Pasar di
Kecamatan Sukun
Keterangan gambar :
Dari gambar di atas maka diketahui bahwa 100 % sampel
yang “Memenuhi Syarat “ (pada pasar
mergan dan kasin), sedangkan untuk pasar sukun 60% memenuhi syarat dan 40 %
sampel “ Tidak Memenuhi Syarat “ di beberapa Pasar di Kecamata Sukun.
Pembahasan
Pembahasan Hasil Penelitian
Dari
hasil penelitian yang diperoleh, diketahui 15 sampel di beberapa Pasar
kecamatan Sukun Malang yang telah diperiksa, terdapat 13 sampel (86,6%) yang
memenuhi syarat, yaitu sampel yang berasal dari Pasar Mergan (33,3 %) sampel (no : 1, 2, 3, 4, 5 )dan Pasar Kasin (33,3% )
sampel (no : 6, 7, 8, 9, 10). Sedangkan untuk Pasar Sukun yang memenuhi syarat
(60 %) ada 3 sampel (no: 12, 13, 14). Sampel yang tidak memenuhi syarat
mempunyai nilai lebih dari 105 dan
2 ada sampel yang tidak memenuhi syarat (13,3 %), yaitu sampel (no: 11
dan 15). Apabila dilihat dari per pasar, proporsi persentase sampel yang
memenuhi syarat, antara lain : Pasar Mergan 100 %, Pasar Kasin 100 %, Pasar
Sukun 60%.
Hal
ini menunjukkan bahwa sebagian besar (100 %) dari sampel yang telah diperiksa
memenuhi syarat sebagian besar hasil dibawah 105. Jadi masyarakat
tidak perlu khawatir menkonsumsi makanan berbahan dasar petis udang.
Perbandingan Hasil Sampel di Beberapa Pasar di
Kecamatan Sukun
Berdasarkan
Pemerikasaan yang dilakukan di UPTD
Laboratorium Kesehatan Daerah kota Malang Dari hasil analisa pada
hari pertama di Pasar Mergan tumbuh 6 koloni pada sample 1(dengan masa inkubasi
48 jam), pada sample 2 ditemukan 349 (dengan masa inkubasi 48 jam), pada sample
3 ditemukan 15 koloni (dengan masa inkubasi 48 jam), pada sample 4 ditemukan
160 koloni (dengan masa inkubasi 48 jam), pada sample 5 ditemukan 54 koloni
(dengan masa inkubasi 48 jam). Dari data tersebut dapat ditentukan urutan
tertinggi hingga terendah jumlah koloni dari tiap- tiap sample yaitu : Sample 2
> 4 > 5 > 3 >1.
Dari hasil analisa pada hari kedua di Pasar Kasin
tumbuh 5 koloni pada sample 6 (dengan masa inkubasi 48 jam), pada sample 7
ditemukan 60 koloni (dengan masa inkubasi 48 jam), pada sample 8 ditemukan 12
koloni dengan masa inkubasi 48 jam)pada sample 9 ditemukan 43 koloni (dengan
masa inkubasi 48 jam), pada sample 10 ditemukan 39 koloni (dengan masa inkubasi
48 jam). Dari data tersebut dapat ditemukan urutan tertinggi hingga terendah
jumlah koloni dari tiap- tiap sample yaitu : Sample 7> 9> 10> 8> 6.
Dari hasil analisa pada hari ketiga di Pasar Kasin
tumbuh koloni 244 pada sample 11 (dengan
masa inkubasi 48 jam), pada sample 12 ditemukan 9 koloni (dengan masa inkubasi
48 jam), pada sample 13 ditemukan 306 koloni dengan masa inkubasi 48 jam)pada
sample 14 ditemukan 54 koloni (dengan masa inkubasi 48 jam), pada sample 15
ditemukan 310 koloni (dengan masa inkubasi 48 jam). Dari data tersebut dapat
ditemukan urutan tertinggi hingga terendah jumlah koloni dari tiap- tiap sample
yaitu : Sample 15 > 13 > 11 > 14 > 12.
Masing- masing Pasar ternyata memiliki hasil yang jauh
berbeda, padahal hanya harga yang berbeda sedangkan petisnya kemungkinan sama
komposisi bahannya. Sebagian besar proses petis udang dengan harga terendah
biasanya dominan menggunakan kulit udang sisa hasil pengolahan udang yang
kualitasnya rendah yang kadang menyebabkan banyak ditemukan koloni didalamnya.
Dari hasil penelitian masyarakat tidak perlu ragu atau
takut menkonsumsi petis, karena dari hasil pemeriksaan hasilnya negatif
dibeberapa pasar terutama di Kecamatan Sukun Malang. Itu menjadikan pengetahuan
bagi masyarakat agar kebersihan dalam makanan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil analisa terdapat beberapa macam petis udang di beberapa pasar di
kecamatan sukun menunjukkan bahwa sebagian merek petis belum memenuhi kriteria
SNI no 01-2718-1996 tentang petis udang, untuk parameter mokrobiologi. Dan
mendapat kan hasil positif dalam semua pemeriksaan 15 sample di 3 Pasar di
Kecamatan Sukun.
Hal
ini menunjukkan bahwa masih perlu diadakan control untuk menekan adanya
kerusakan mikrobiologis.Peneliti menggunakan
masa inkubasi 48 jam dengan harapan koloni
sudah dapat tumbuh, karena jika waktunya lebih lama tidak efisien untuk masa
pertumbuhan koloni.
Dari hasil akhir penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Sampel
yang Memenuhi Syarat di Kecamatan Sukun 13 sampel (86,6 %), terdiri dari Pasar
Mergan 5 sampel (33,3 %), Pasar Kasin 5
sampel (33,3%), di Pasar Sukun 3 sampel (20 %) .
Untuk proporsi persentase
sampel yang Memenuhi Syarat per pasar adalah Pasar
Mergan 0%,
Pasar kasin 0%, Pasar Sukun 60%.
2. Sampel
yang Tidak Memenuhi Syarat di kecamatan sukun sebanyak
2 sampel (13,3
%) yaitu pada Pasar Sukun. Untuk proporsi persentase sampel
yang Tidak Memenuhi Syarat 40 % per pasar di Kecamatan Sukun.
3. Dari
15 sampel keseluruhan diKecamatan Sukun , sampel yang memenuhi syarat adalah 13
sampel (86,6 %), yaitu Pasar Mergan (33,3 %) dan Pasar Kasin (33,3 %).
Sedangkan Pasar Sukun yang memenuhi syarat (20%) dan yang tidak memenuhi syarat
(13,3 %).
4. Ada
2 kemungkinan apabila ditemukan adanya
mikroba pada Angka Lempeng Total Escherichia coli dan Psidomonas, antara lain :
a. Proses
pembuatan petis udang.
b. Kurang
sterilisasi pada peralatan penelitian.
c. Adanya
kontaminasi dalam proses pengerjaan sampel.
Saran
1. Keamanan
suatu bahan pangan terutama aspek mikrobiologis merupakan faktor penting. Dalam
hal ini perlu adanya peningkatan
pengawasan mutu produk terutama yang rentan terhadap kontaminannya baik karena
bahan bakunya maupun prosesnya. Dengan hasil yang menunjukkan bahwa ditemukan
banyak tumbuh koloni pada semua produk. Maka perlu adanya peningkatan sanitasi
khusus pada industri petis.
2. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan
konsumen petis udang
sebaiknya memasak terlebih dahulu sebelum menggunakan petis
tersebut, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan kontaminasi bakteri
pada petis udang
pada saat penjualan. Para produsen dan penjual petis
hendaknya memperhatikan hygiene dan sanitasi petisnya sehingga dapat dikonsumsi
secara langsung oleh masyarakat dengan aman. Selain itu dapat dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai kadar bakteriologis petis
udang dilihat dari angka kuman, Eschechia
coli salmonella dan vibrio harus negatif .
DAFTAR
PUSTAKA
Afrianto, E. dan Eliviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Knisius, Jakarta.
Bedeges, . D,. 1989. Beberapa Informasi Mengenai Teknologi Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Berbagai Jenis
Produk Makanan Yang mempunyai Nilai Tambah. Deperindag, Jakarta.
Bukle, K.A., R.A .Edwards. G. H. Fleet and M. Wootton.
1986 Ilmu Pangan. Ahli
Bahasa : Hari Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta.
Dore, I., 1991. Shelfish. Van
Norstrand. New
York.
Fardiaz.,
S ., 1992. Mikrobiologi Pangan . PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Fardiaz.,
S ., 1993. Analisa Mikrobiologi Pangan.
PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Fattah, Muf ti Abdul,.
1986. Pengaruh Proses dan Bahan yang
Digunakan Terhadap Mutu Petis
Udang Jawa Timur Berdasarkan
Nilai Gizi Yang dikandungnya. Pusbinlat Industri, Bogor.
Frazier, 1978. Food Microbiology,
Third Edition. McGraw Hill Publishing Co. Inc USA
Martosubroto .P dan
N Naaminm,1985. Sumberdaya
Perikanan dan Industri Tepung Ikan . Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan Departemen
Pertanian, Jakarta. Alih Bahasa : Hari Purnomo dan Adiono. UI Press.
Jakarta.
Moeljanto,
R. 1992. Pengolahan Hasil-hasil Samping Ikan. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Setot Prasasto, 2008, Aspek Produk
Petis Udang. www.google.co.id
Sudarrmadji, S., B. 1998. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit
Liberty. Jogjakarta
SNI 01-2718-1996. Petis
Udang. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta
Tommy Irawan, 2004 Studi
keamanan pangan dan sifat fisiko kimia serta organoleptik berbagai merek petis
udang di sentra industri petis udang di sidoarjo. Jurusan Teknik Hasil
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang
Winarno, 1986. Air
Dalam Industri Pangan . PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Buckle, K. A., R.A . Edwars , G.H. Fleet and M. Wotton. 1987. Ilmu Pangan .
Winarno,
1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumsi.
PT. Gramedia Pustaka Utama
, Jakarta.
Winarno, 1994. Kimi Pangan
dan Gizi . PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta,
Y. Denny Ardyanto.W, Studi Kualitas Bakteriologis pada PetisUdang
dan Ikan produksi Surabaya dan Sidoarjo,Lembaga penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga ; 2002
|
Petis Udang SDH
Langganan:
Postingan (Atom)